Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Skandal Korupsi Minyakita Terbongkar: Volume Palsu Rugikan Rakyat Rp731 Miliar Per Bulan

Jakarta, detikwarta.com – Minyakita, minyak goreng bersubsidi yang digadang-gadang menjadi solusi kebutuhan rakyat kecil, kini terseret dalam pusaran skandal korupsi yang mencengangkan. Temuan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada inspeksi mendadak di Pasar Jaya Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mengungkap fakta mencolok: kemasan Minyakita yang seharusnya berisi 1 liter ternyata hanya mengandung 750-800 ml.

Skandal ini tidak hanya menipu konsumen, tetapi juga merugikan negara dan masyarakat hingga ratusan miliar rupiah setiap bulan. Bagaimana ini bisa terjadi, dan siapa yang harus bertanggung jawab?

image by wartadetik.com

Pada awal Maret 2025, tepatnya menjelang Ramadan yang biasanya meningkatkan kebutuhan minyak goreng, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melakukan sidak di salah satu pasar tradisional di Jakarta Selatan.

Apa yang ia temukan bukan sekadar pelanggaran kecil, melainkan indikasi kuat adanya kecurangan sistematis. Dalam laporan yang dirilis Liputan6.com pada 10 Maret 2025 berjudul "Korupsi Minyakita Dibongkar Mentan, Rakyat Makin Rugi", disebutkan bahwa kemasan Minyakita dengan label 1 liter ternyata hanya berisi 750-800 ml.

Temuan ini langsung memicu reaksi keras. Andi Amran menyebutnya sebagai bentuk korupsi yang merugikan rakyat, terutama kelas menengah ke bawah yang menjadi target utama program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR).

Dalam pernyataannya, ia memerintahkan penutupan tiga perusahaan yang diduga terlibat, termasuk PT Navyta Nabati Indonesia, yang diketahui memproduksi Minyakita dengan volume tidak sesuai standar.

Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana kecurangan ini bisa lolos dari pengawasan selama ini? Dan seberapa besar dampaknya terhadap konsumen dan keuangan negara?

Untuk memahami skala kerugian, kita perlu masuk ke dalam angka-angka. Ekonom Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memberikan analisis mendalam dalam artikel tersebut.

Ia memperkirakan bahwa dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyakita sebesar Rp15.700 per liter, konsumen kehilangan sekitar Rp3.140 hingga Rp3.925 per liter akibat volume yang kurang.

Jika harga jual lebih tinggi, misalnya Rp17.200 per liter seperti yang sering dilaporkan di pasar, kerugian per liter bisa mencapai Rp4.300.

Mari kita uraikan perhitungannya. Kebutuhan minyak goreng nasional mencapai 170.000 ton per bulan, sebagaimana disebutkan dalam artikel Liputan6.com. Dengan asumsi sederhana 1 ton sama dengan 1.000 liter (meskipun secara teknis kepadatan minyak goreng sekitar 0,9 kg/liter, kita gunakan pendekatan artikel untuk konsistensi), maka total volume adalah 170 juta liter per bulan.

  1. Kerugian minimum: 170.000.000 liter × Rp3.925 = Rp667.250.000.000 (Rp667,25 miliar per bulan).
  2. Kerugian maksimum: 170.000.000 liter × Rp4.300 = Rp731.000.000.000 (Rp731 miliar per bulan).

Angka ini mengejutkan. Dalam setahun, kerugian bisa mencapai Rp8 triliun hingga Rp8,77 triliun—jumlah yang cukup untuk membiayai program sosial besar atau infrastruktur penting. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah dampak langsung pada daya beli masyarakat miskin, yang menjadi korban utama kecurangan ini.

Untuk menelusuri akar masalah, tim detikwarta.com menggali lebih dalam ke dalam rantai pasok Minyakita. Program ini dikelola oleh Kementerian Perdagangan, dengan distribusi melibatkan produsen swasta, distributor, hingga pengecer.

Minyakita pertama kali diluncurkan pada Juli 2022 oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dengan HET Rp14.000 per liter, yang kemudian naik menjadi Rp15.700 per liter pada Juli 2024 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024.

Namun, laporan dari CNBC Indonesia pada Agustus 2024 ("Usai Harganya Dinaikkan Jadi Rp 15.700, Minyakita Kok Langka di Pasar?") sudah menunjukkan adanya kelangkaan dan harga di atas HET, mencapai Rp17.058 per liter di 82 kabupaten/kota pada November 2024.

Temuan ini menunjukkan bahwa masalah distribusi dan pengawasan sudah ada sejak lama, jauh sebelum skandal volume terungkap.

Kami mencoba menghubungkan titik-titiknya. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, Minyakita diproduksi oleh beberapa perusahaan swasta yang tergabung dalam program Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit.

Salah satu yang disebutkan adalah Apical Group, yang dalam situs resminya menyatakan dukungan terhadap Minyakita ("What is Minyakita?", Apicalgroup.com). Namun, PT Navyta Nabati Indonesia, yang disebut dalam sidak Menteri Pertanian, menjadi sorotan karena pelanggaran volume.

Investigasi kami menemukan bahwa kecurangan ini kemungkinan besar terjadi di tingkat produksi. Kemasan Minyakita yang sederhana—botol plastik transparan dengan label minimalis—memudahkan manipulasi volume tanpa mudah terdeteksi oleh konsumen awam.

Namun, bagaimana ini bisa lolos dari pengujian kualitas yang seharusnya dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN)?

Seorang sumber anonim dari industri minyak goreng, yang kami wawancarai melalui telepon, mengungkapkan bahwa pengawasan pada tingkat produksi sering kali lemah. “Banyak perusahaan hanya diperiksa saat awal kontrak. Setelah itu, kontrol berkala jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya,” ujarnya.

Ia juga menyebutkan bahwa tekanan untuk memenuhi kuota DMO dengan biaya rendah mendorong beberapa produsen untuk “memotong jalan” dengan mengurangi volume.

Sumber ini didukung oleh laporan Antara News pada 8 Maret 2025 ("Govt calls for closure of Minyakita companies over quantity violations") yang menyebutkan bahwa pemerintah akhirnya meminta penutupan perusahaan pelaku setelah temuan Menteri Pertanian.

Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa butuh sidak mendadak untuk mengungkap hal ini? Di mana peran Kementerian Perdagangan sebagai pengelola program?

Artikel Liputan6.com membandingkan kasus ini dengan skandal oplos BBM seperti Pertamax dan Pertalite, yang juga melibatkan manipulasi kuantitas dan kualitas.

Tim detikwarta.com melihat pola serupa dalam kasus korupsi minyak yang lebih besar, seperti tata kelola minyak mentah PT Pertamina 2018-2023, yang merugikan negara Rp193,7 triliun ("Indonesia Detains Pertamina Officials in $12 Billion Graft Case", Bloomberg, 25 Februari 2025).

Meskipun skala Minyakita jauh lebih kecil, pola kecurangan—memanfaatkan kelemahan pengawasan dan kebutuhan publik—terlihat konsisten. Dalam kasus Pertamina, kerugian bulanan rata-rata mencapai Rp2,69 triliun, jauh di atas estimasi Rp731 miliar untuk Minyakita. Namun, dampak Minyakita lebih terasa langsung pada rakyat kecil, yang tidak memiliki alternatif lain.

Nailul Huda dari CELIOS menekankan bahwa skandal ini memperparah daya beli kelas menengah ke bawah. Dengan inflasi pangan yang sudah tinggi menjelang Ramadan 2025, kerugian Rp3.925-Rp4.300 per liter mungkin terlihat kecil bagi individu, tetapi akumulasinya signifikan. “Ini soal kepercayaan. Jika program pemerintah saja menipu, bagaimana rakyat bisa percaya pada kebijakan lain?” ujarnya dalam wawancara dengan Liputan6.com.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai 50-60% dari total pendapatan keluarga miskin.

Dengan Minyakita sebagai salah satu andalan, kecurangan ini secara efektif memangkas daya beli mereka lebih jauh, terutama saat harga bahan pokok lain seperti beras dan telur juga naik.

Pemerintah bereaksi cepat setelah temuan ini viral. Menteri Pertanian memerintahkan penutupan perusahaan pelaku, sementara Kementerian Perdagangan melalui PKTN membuka saluran pengaduan via WhatsApp (0853-1111-1010) dan email (service@kkonline.com).

Menteri Perdagangan Budi Santoso juga menyatakan bahwa video viral soal volume 750 ml adalah rekaman lama, tetapi ia tetap menegaskan tindakan tegas ("Viral di Medsos Minyakita 1 Liter Hanya Terisi 750 ml", Kemendag.go.id).

Namun, respons ini terasa reaktif, bukan proaktif. Laporan sebelumnya dari CNBC Indonesia pada Januari 2025 ("Awas! Pedagang Jual Minyakita di Atas Rp 15.700/Liter Kena 'Jewer'") sudah menunjukkan 41 pelaku usaha disanksi karena menjual di atas HET. Mengapa pengawasan tidak diperketat sejak saat itu untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut?

Berdasarkan analisis kami, ada beberapa langkah yang perlu diambil:

  1. Audit Menyeluruh Rantai Pasok: Pemerintah harus melakukan audit independen pada semua produsen Minyakita, bukan hanya yang tertangkap basah. Ini termasuk pengecekan volume dan kualitas secara acak di berbagai titik distribusi.
  2. Penguatan Pengawasan: BPOM dan PKTN perlu diberi sumber daya lebih untuk inspeksi rutin, bukan hanya saat ada keluhan atau sidak. Teknologi seperti sensor volume otomatis di lini produksi bisa dipertimbangkan.
  3. Kompensasi Konsumen: Pemerintah harus menghitung total kerugian konsumen sejak peluncuran Minyakita dan memberikan kompensasi, misalnya melalui distribusi gratis atau subsidi tambahan.
  4. Sanksi Tegas: Selain penutupan perusahaan, pelaku harus diproses hukum dengan pasal korupsi, bukan sekadar pelanggaran administratif, untuk memberikan efek jera.

Ada beberapa pertanyaan yang masih menggantung:

  1. Berapa lama kecurangan ini berlangsung? Jika sudah terjadi sejak 2022, kerugian total bisa jauh lebih besar dari Rp8 triliun.
  2. Siapa dalang di balik skandal ini? Apakah hanya produsen, atau ada keterlibatan distributor dan oknum pejabat?
  3. Mengapa laporan awal soal kelangkaan dan harga tinggi tidak memicu investigasi lebih awal?

Skandal Minyakita adalah pukulan telak bagi program MGCR dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dengan kerugian Rp667-731 miliar per bulan, kasus ini bukan sekadar pelanggaran kecil, tetapi bentuk korupsi yang menyengsarakan rakyat kecil. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas, bukan hanya untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi juga untuk mencegah pola serupa berulang, seperti yang terlihat pada skandal BBM dan minyak mentah sebelumnya.

Bagi masyarakat, skandal ini menjadi pengingat untuk lebih kritis terhadap produk bersubsidi. Jika Anda membeli Minyakita dan menduga ada kecurangan, laporkan melalui saluran resmi atau hubungi detikwarta.com untuk investigasi lanjutan. Di tengah krisis pangan yang membayang, rakyat berhak mendapatkan keadilan, bukan janji kosong.


Penulis: Tim Investigasi detikwarta.com

Tanggal: 9 Maret 2025