Gelar Doktor Bahlil Lahadalia Dicabut, Apa Kata UI?
Kontroversi terkait perolehan gelar doktor oleh Bahlil Lahadalia di Universitas Indonesia (UI) telah menjadi sorotan publik dan akademisi. Beberapa isu utama yang mencuat meliputi durasi studi yang singkat, dugaan penggunaan jurnal predator, serta potensi pelanggaran etika akademik. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai aspek terkait kontroversi tersebut, termasuk tanggapan dari berbagai pihak dan implikasinya terhadap dunia akademik di Indonesia.
Bahlil Lahadalia, yang menjabat sebagai Menteri Investasi, berhasil meraih gelar doktor dalam program studi Kajian Strategik dan Global di UI pada tahun 2024. Keberhasilan ini menuai perhatian karena durasi studi yang ditempuhnya hanya 20 bulan, atau sekitar 1 tahun 8 bulan, yang dianggap sangat singkat untuk program doktoral.
Menurut Peraturan Rektor UI Nomor 16 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Doktor, program ini dirancang untuk enam semester dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam empat semester serta paling lama sepuluh semester. Dengan demikian, durasi studi Bahlil yang kurang dari dua tahun menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan terhadap standar akademik yang berlaku.
Selain durasi studi yang singkat, publikasi ilmiah yang menjadi bagian dari syarat kelulusan Bahlil juga menjadi sorotan. Ia diduga mempublikasikan karyanya pada jurnal predator, yaitu jurnal yang tidak menerapkan proses peninjauan sejawat (peer-review) yang ketat dan seringkali memungut biaya publikasi tanpa menjamin kualitas.
Menanggapi hal ini, Teguh Darnanti, co-promotor disertasi Bahlil, menyatakan bahwa Bahlil telah memenuhi syarat untuk meraih gelar doktor dengan adanya tiga publikasi: satu jurnal bereputasi internasional, satu jurnal SINTA 2, dan satu prosiding yang dapat diganti menjadi jurnal SINTA 2. Ia menambahkan bahwa isu terkait jurnal predator telah diselesaikan sebelumnya, dan Bahlil diminta menulis ulang di jurnal lain untuk memenuhi syarat kelulusan.
Kontroversi ini memicu reaksi dari berbagai kalangan akademisi. Andrinof Chaniago, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, mengkritik durasi studi yang dianggap tidak wajar. Ia menekankan bahwa untuk menyelesaikan program doktoral, terutama melalui jalur riset, diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan studi pustaka yang mendalam dan kritis. Menurutnya, menyelesaikan program doktoral dalam waktu kurang dari dua tahun sulit diterima secara akademik.
Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, juga menyoroti potensi konflik kepentingan mengingat posisi Bahlil sebagai menteri. Ia khawatir bahwa relasi antara kekuasaan dengan pihak kampus dapat mempengaruhi integritas akademik. Satria menambahkan bahwa dengan kesibukan sebagai menteri, sulit diterima secara logis bahwa Bahlil mampu menyelesaikan studi doktoral dalam waktu kurang dari dua tahun.
Menanggapi kontroversi yang berkembang, UI mengambil langkah dengan meminta Bahlil untuk memperbaiki disertasinya sebagai bagian dari pembinaan akademik. Selain itu, UI juga menjatuhkan sanksi kepada dosen pembimbing dan penguji yang terlibat dalam proses disertasi Bahlil. Namun, detail mengenai bentuk sanksi tersebut belum dipublikasikan secara resmi.
Kontroversi terkait gelar doktor Bahlil Lahadalia mencerminkan tantangan yang dihadapi dunia akademik Indonesia dalam menjaga integritas dan kualitas pendidikan tinggi. Diperlukan komitmen dari semua pihak untuk memastikan bahwa standar akademik ditegakkan tanpa kompromi, serta transparansi dalam setiap proses akademik untuk mempertahankan kepercayaan publik.