Ternyata Koperasi Desa Merah Putih Bisa Kelola Tambang
Jakarta, detikwarta.com – Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi mengumumkan langkah ambisius: Koperasi Desa Merah Putih, yang awalnya dirancang untuk memperkuat ekonomi pedesaan melalui sektor pertanian, kini dapat mengelola tambang.
Pernyataan ini didasarkan pada revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang disahkan pada Februari 2025. Langkah ini memicu gelombang diskusi—apakah ini terobosan untuk kesejahteraan desa atau justru membuka celah risiko baru dalam tata kelola sumber daya alam?
Revisi UU Minerba membuka peluang bagi koperasi dan UMKM untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan prioritas, sebuah perubahan signifikan dari dominasi perusahaan besar di sektor pertambangan.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Budi Arie menegaskan, “Koperasi Desa Merah Putih boleh kelola tambang, terutama di desa yang punya area tambang seperti Kalimantan dan Sulawesi. Ini agar masyarakat desa tidak hanya jadi penonton, tapi ikut menikmati sumber daya alam mereka.” Namun, di balik janji manis ini, ada kekhawatiran tentang kapasitas koperasi, dampak lingkungan, hingga potensi penyalahgunaan.
Tim detikwarta.com menggali lebih dalam kebijakan ini, mulai dari dasar hukum, rencana implementasi, hingga respons masyarakat di lapangan. Artikel ini mengulas secara tajam implikasi kebijakan tersebut, dengan merujuk pada UU Minerba dan wawancara eksklusif dengan pelaku di tingkat desa.
Revisi UU Minerba yang disahkan pada Februari 2025 menjadi tonggak utama kebijakan ini. Pasal 51, 60, dan 75 UU tersebut secara eksplisit memberikan prioritas kepada koperasi, UMKM, dan organisasi masyarakat untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
Menurut laporan Tempo.co (18 Februari 2025), “UU Minerba Disahkan, UMKM hingga Koperasi Bisa Kelola Tambang,” perubahan ini bertujuan mendemokratisasi pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang selama ini dikuasai korporasi besar.
Pasal 51 UU Minerba menyatakan bahwa pemerintah wajib memprioritaskan IUP kepada koperasi dan UMKM dalam wilayah yang ditetapkan, tanpa harus melalui mekanisme tender murni yang kompetitif. Pasal 60 mengatur bahwa koperasi dapat mengajukan izin untuk kegiatan pertambangan rakyat, sementara Pasal 75 menjamin dukungan teknis dan pendanaan dari pemerintah pusat maupun daerah.
“Ini adalah langkah besar untuk pemerataan ekonomi,” ujar Budi Arie dalam wawancara dengan CNN Indonesia (18 Februari 2025). “Koperasi jadi ujung tombak, tapi harus ada seleksi ketat supaya tidak ada koperasi fiktif.”
Namun, revisi ini bukan tanpa kritik. Dalam laporan Tempo.co (20 Februari 2025), “UU Minerba Berisiko Merusak Tata Kelola Tambang,” sejumlah akademisi menyoroti potensi eksploitasi lingkungan jika koperasi tidak memiliki kapasitas teknis memadai. “Tambang itu bukan pertanian. Butuh keahlian khusus, dan koperasi desa belum terbukti siap,” tulis laporan tersebut.
Koperasi Desa Merah Putih adalah bagian dari visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk 70.000 hingga 80.000 koperasi di seluruh Indonesia.
Menurut Setkab.go.id (5 Maret 2025), “Putus Mata Rantai Kemiskinan, Presiden Prabowo Akan Membentuk Koperasi Desa Merah Putih,” program ini awalnya fokus pada pengelolaan hasil pertanian dan distribusi sembako untuk meningkatkan kesejahteraan desa. Namun, pernyataan Budi Arie pada 11 Maret 2025 memperluas cakupan koperasi ini ke sektor pertambangan.
“Di desa-desa yang punya tambang, seperti di Kalimantan atau Sulawesi, koperasi bisa ambil peran. Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi keadilan sosial,” kata Budi Arie, seperti dikutip VOI.id (11 Maret 2025).
Ia menambahkan bahwa pemerintah akan menggunakan dana desa dan anggaran khusus untuk mendanai koperasi, dengan estimasi modal awal Rp3 miliar hingga Rp5 miliar per desa. Total kebutuhan dana mencapai Rp210 triliun hingga Rp350 triliun, menurut CNN Indonesia (6 Maret 2025).
Peluncuran perdana koperasi ini direncanakan pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, seperti dilaporkan Kompas.id (4 Maret 2025). Pendekatan yang digunakan melibatkan revitalisasi koperasi existing dan pembentukan koperasi baru di desa-desa strategis.
Untuk mendapatkan gambaran nyata, tim detikwarta.com melakukan wawancara lapangan di dua desa tambang: Desa Sangatta di Kalimantan Timur dan Desa Morowali di Sulawesi Tengah, pada 10-11 Maret 2025. Respons masyarakat menunjukkan campuran harapan dan skeptisisme.
Di Sangatta, Ketua Koperasi Tani Jaya, Suryadi (45), menyambut baik kebijakan ini. “Kami selama ini cuma jadi penutup lubang tambang yang ditinggal perusahaan besar. Kalau koperasi bisa kelola tambang, mungkin anak-anak kami bisa kerja di sini, bukan cuma jadi buruh,” ujarnya kepada tim detikwarta.com. Namun, ia mengaku khawatir dengan kemampuan koperasi. “Kami bisa tanam padi, tapi tambang? Kami butuh pelatihan serius.”
Sementara itu, di Morowali, seorang warga bernama Fatimah (38), yang tinggal dekat tambang nikel, mempertanyakan dampak lingkungan. “Tambang besar saja bikin sungai kami kotor. Kalau koperasi ambil alih, apa mereka bisa jaga alam? Jangan sampai kami dapat untung sedikit, tapi anak cucu kami yang rugi,” katanya dalam wawancara dengan detikwarta.com.
Wawancara ini mencerminkan dilema nyata di lapangan: peluang ekonomi versus kesiapan teknis dan tanggung jawab lingkungan.
Kebijakan ini memiliki potensi besar untuk mengubah wajah ekonomi desa. Menurut Kompas.com (4 Maret 2025), “Apa Tujuan dan Manfaat 70.000 Koperasi Desa Merah Putih yang Dibentuk Prabowo?” koperasi ini dapat menjadi agregator produk desa dan menciptakan lapangan kerja.
Dengan masuk ke sektor tambang, koperasi berpeluang meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, terutama di daerah kaya mineral seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Namun, tantangan tidak kecil. Pertama, kapasitas manajerial koperasi menjadi sorotan utama. Dalam laporan Kompas.id (4 Maret 2025), “Tugas Koperasi Desa Merah Putih Dikhawatirkan Tumpang Tindih dengan BUMDes,” akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rimawan Pradiptyo, memperingatkan bahwa koperasi desa belum memiliki pengalaman mengelola industri ekstraktif seperti tambang. “Ini bukan soal niat baik, tapi kompetensi. Tanpa pendampingan intensif, ini bisa jadi bumerang,” katanya.
Kedua, ada risiko tumpang tindih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi desa. “Kalau koperasi ambil alih tambang, apa peran BUMDes? Jangan sampai ada konflik kepentingan,” ujar Kepala Desa Morowali Utara, Ahmad Yani, kepada detikwarta.com.
Ketiga, dampak lingkungan menjadi isu krusial. Revisi UU Minerba tidak mengatur secara spesifik sanksi bagi koperasi yang gagal menjaga lingkungan, sebuah celah yang dikhawatirkan oleh aktivis lingkungan. “Tambang skala kecil oleh koperasi bisa lebih sulit diawasi dibandingkan perusahaan besar,” tulis Tempo.co (20 Februari 2025).
Pemerintah menegaskan bahwa seleksi ketat akan diterapkan untuk mencegah koperasi fiktif. “Tidak sembarang koperasi boleh kelola tambang. Ada asesmen kapasitas dan komitmen,” ujar Budi Arie, seperti dikutip Suara Surabaya (11 Maret 2025). Pemerintah juga berjanji memberikan pelatihan teknis dan pendampingan melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Koperasi.
Namun, kontroversi muncul terkait pendanaan. Anggaran Rp350 triliun yang dibutuhkan untuk membangun koperasi ini menuai kritik. “Dana sebesar itu lebih baik dipakai untuk pendidikan dan kesehatan desa, bukan spekulasi di sektor tambang,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Dedi Mulyadi, dalam wawancara dengan CNN Indonesia (6 Maret 2025).
Dari sudut pandang UU Minerba, kebijakan ini sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 tentang pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Prioritas kepada koperasi mencerminkan upaya redistribusi ekonomi. Namun, tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini berisiko melanggar Pasal 5 UU Minerba yang mewajibkan pengelolaan tambang dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“UU Minerba memberi peluang, tapi tidak menjamin keberhasilan. Kuncinya ada pada implementasi,” kata pakar hukum pertambangan dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santoso, kepada detikwarta.com. Ia menambahkan bahwa pemerintah harus membuat regulasi turunan yang jelas untuk mengatur koperasi dalam sektor tambang.
Pernyataan Budi Arie bahwa Koperasi Desa Merah Putih bisa kelola tambang adalah cerminan ambisi pemerintah untuk memperluas peran koperasi dalam ekonomi desa.
Didukung revisi UU Minerba, kebijakan ini menawarkan harapan bagi masyarakat lokal untuk menikmati sumber daya alam mereka. Namun, tanpa kapasitas yang memadai, pendampingan intensif, dan pengawasan ketat, harapan ini bisa berubah menjadi ilusi yang mahal harganya—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Tim detikwarta.com akan terus memantau perkembangan kebijakan ini, termasuk peluncuran perdana pada Juli 2025. Pertanyaannya kini: mampukah koperasi desa menjawab tantangan baru ini, atau akankah mereka tenggelam dalam kompleksitas industri tambang? Waktu akan menjawab.